Isu good corporate
governance (GCG) sudah muncul sejak terjadinya krisis ekonomi yang bebas di
Amerika Serikat pada tahun 1929 dan untuk mencegah agar krisis seperti ini
tidak terjadi lagi maka dikembangkan sistem dan struktur pengelolaan perusahaan
yang lebih baik. Tuntutan untuk menerapkan corporate governance semakin kuat
dengan munculnya skandal-skandal dari perusahaan publik di Amerika dan Eropa seperti Enron, Worldcom,
Maxwell, London & Commonwealth dan lain-lain. Kegagalan penerapan corporate
governance di Amerika Serikat dan di Inggris disebabkan oleh kurangnya
kemampuan dari dewan direksi dan ketidak pedulian investor terhadap perusahaan
( Davies, 1999).
Di Asia, isu GCG muncul
pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Dampak dari krisis tersebut
banyak perusahaan berjatuhan karena tidak mampu bertahan, salah satu
penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang dicapai selama ini tidak dibangun di
atas landasan yang kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Kelemahan terlihat dari minimnya pelaporan keuangan dan kewajiban-kewajiban
perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh komisaris dan
auditor serta kurangnya insentif eksternal untuk mendorong terciptanya
efisiensi di perusahaan melalui mekanisme persaingan yang fair.
Indonesia sendiri
mengalami dampak yang cukup parah akibat krisis tersebut dan pemulihannya juga
memakan waktu paling lama dibandingkan dengan Negara asia lainnya. Salah satu
faktor yang menyebabkan lambatnya proses pemulihan kondisi perekonomian adalah
belum diterapkannya corporate governance yang baik. Oleh karena itu, corporate
governance yang baik menjadi bagian penting dalam proses pembaharuan ekonomi
untuk mengatasi krisis ekonomi. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya penerapan prinsip GCG di Indonesia telah dilakukan, baik oleh
pemerintah maupun swasta. Komite Nasional tentang Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) dibentuk pada tahun 1999 oleh Menko Perekonomian dan
menerbitkan Pedoman Nasional GCG. Pada tahun 2004 Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) dibentuk sebagai pengganti KNKCG. Lembaga pemerintah
Corporate Governance seperti Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
dan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) juga turut mendorong
pelaksanaan GCG oleh perusahaan-perusahaan public di Indonesia.
GCG dapat menuntun
sebuah institusi kearah keunggulan kompetitif yang pada akhirnya akan
memberikan konstribusi positif pada perkembangan ekonomi dan menjamin
kemakmuran yang akan dinikmati rakyat banyak. Perbankan Indonesia tidak luput
dari kasus terkait dengan lemahnya
penerapan GCG Bank Lippo pada tahun 2002 melakukan rekayasa dalam llaporan
keuangannya, penyesatan informasi dan melakukan banyak manipulasi. Kasus Bank
Lippo menunjukkan masih lemahnya penerapan prinsip keterbukaan dan juga
menunjukkan lemahnya pengawasan dari dewan komisaris. Pada tahun 2003
terbongkar skandal Rp 1,7 triliun yang melibatkan para pejabat bank ini.
Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) telah melebarkan pemeriksaan kasus PT Bank Lippo Tbk. Selain
soal laporan keuangan ganda, otoritas pasar modal itu juga sedang memeriksa
dugaan manipulasi perdagangan saham dan indikasi pembelian saham oleh Grup
Lippo secara diam-diam. Penegasan itu disampaikan analis pasar modal Lin
Che Wei seusai pertemuan antara Ketua Bapepam Herwidayatmo dan Koalisi
Masyarakat Anti Skandal Bank Lippo di gedung Bapepam kemarin. Selain Che
Wei, dalam pertemuan itu hadir pula Koordinator Indonesia Corruption Watch
(ICW) Teten Masduki dan ekonom senior Institute for Development of Economic and
Finance (Indef) Faisal Basri.
Menurut Che Wei, dalam
pertemuan itu, Herwidayatmo berjanji akan memeriksa tiga hal dalam kasus Bank
Lippo. "Yaitu, laporan keuangan ganda, manipulasi harga saham, dan
penjelasan tentang tidak dilaporkannya peningkatan saham yang signifikan,"
katanya.
Che Wei menambahkan, dalam pertemuan itu, Koalisi juga meminta Bapepam untuk
melakukan tekanan kepada BEJ. "Seharunya BEJ lebih aktif dibandingkan
pengamat karena dia pintu pertama semua masalah ini," ungkapnya. Kepala
Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam Abraham Bastari ketika dimintai
konfirmasinya, membenarkan bahwa Bapepam kini memperluas pemeriksaan. "Ya,
semuanya memang kami periksa," katanya kepada Koran Tempo. Berkaitan
dengan itu, ia pun menjelaskan bahwa Bapepam sedang mengumpulkan data-data dan
dokumen menyangkut peningkatan saham Grup Lippo di Bank Lippo yang disinyalir
dilakukan secara diam-diam, karena tidak pernah dilaporkan ke Bapepam.
Pemeriksaan ini, kata
Abraham, sedang ditangani Biro Penilaian Jasa Keuangan Sektor Jasa Bapepam.
"Saya memang sedang mengumpulkan data dan bukti-buktinya," kata Kepala
Biro Penilaian Jasa Keuangan Noor Rachman saat dimintai tanggapannya.
Seperti diberitakan koran ini (10/2), di samping soal laporan keuangan ganda
dan indikasi manipulasi harga saham, dalam kasus Bank Lippo juga ditemukan
indikasi adanya pembelian saham oleh Grup Lippo secara diam-diam. Dalam
laporan keuangan tahunan Bank Lippo disebutkan bahwa porsi kepemilikan saham PT
Lippo e-Net Tbk. di bank papan tengah itu telah bertambah dari 7,21 persen pada
2000 menjadi 9,57 persen per September 2002.
Dari hasil penelusuran
Koran Tempo di Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM), tidak ditemukan satu dokumen
pun yang mengumumkan adanya penambahan saham ini. Padahal, berdasarkan aturan
pasar modal ditetapkan bahwa setiap pihak yang memiliki 5 persen saham atau lebih,
wajib melaporkan kepemilikan dan perubahan kepemilikan sahamnya kepada Bapepam. Pelaporan
harus dilakukan selambat-lambatnya 10 hari sejak terjadinya transaksi.
Pelanggaran atas aturan ini akan dikenakan denda Rp 1 juta per hari sejak
tanggal keterlambatan.
Mulai dipanggil
Sementara itu, berkaitan
dengan pemeriksaan dugaan manipulasi harga saham Bank Lippo, Abraham
mengungkapkan, Bapepam akan mulai memanggil pihak-pihak yang diindikasikan
terlibat dalam kasus ini. "Pemeriksaan setempat bisa dikatakan sudah
selesai," katanya. Adapun yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat
adalah pemeriksaan Bapepam dengan cara mendatangi sejumlah broker. Ada sekitar
10 broker yang didatangi tim Bapepam bersama tim Bursa Efek Jakarta untuk
mengumpulkan berbagai data dan dokumen atas transaksi saham Bank Lippo.
Dari data dan dokumen
yang sudah terkumpul itu, kata Abraham, Bapepam melakukan rekonstruksi.
"Kemudian, baru dipanggil (pihak-pihak) yang kemungkinan terlibat dalam
kasus ini."
Sehubungan dengan itu,
Abraham menjelaskan, pada pekan ini akan mulai dilakukan pemanggilan kepada
sejumlah broker dan nasabah untuk diperiksa. Namun, ia menolak menyebutkan,
siapa dan broker mana saja yang bakal dipanggil. Berkaitan dengan ini,
menurut Che Wei, Herwidayatmo menjanjikan akan meminta Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI) untuk membuka data-data transaksi saham Bank Lippo. Selain
itu, kata Che Wei, Herwidayatmo menyatakan, pemeriksaan indikasi manipulasi
harga saham akan meneliti kemungkinan ada tidaknya pelanggaran insider trading,
yaitu praktek curang perdagangan dengan memanfaatkan informasi orang dalam. yura
s/kurniawan/sam cahyadi
Ironis
Pada periode yang sama sejumlah broker melakukan transaksi
jual dalam jumlah sangat besar. Ironisnya, pada 14 Februari broker yang sama
berbalik melakukan transaksi beli dalam volume signifikan.
Praktik semacam itu menguatkan dugaan memang terjadi
manipulasi laporan keuangan serta insider
trading. Dengan tujuan, manajemen (khususnya pemilik lama) bisa masuk dan
menguasai saham mayoritas bank itu.
Banyak yang menduga skenario yang mereka inginkan adalah
pihak manajemen ingin menawar saham terbatas (rights issue). Lewat cara
itu pemegang saham mayoritas saat ini, yaitu pemerintah, mau tidak mau harus
mengeluarkan banyak uang. Karena jika tidak dilakukan, kepemilikan sahamnya
terdilusi. Ringkas kata, pemilik lama menginginkan pemerintah merekapitalisasi
tahap kedua terhadap bank itu.
Kasus Bank Lippo mengingatkan orang pada skandal akuntansi
dan keuangan yang dilakukan beberapa perusahaan multinasional berskala raksasa
di AS beberapa waktu lalu. Dunia dikejutkan dan pelaku pasar modal shock oleh kebohongan Enron, World Com,
Global Crossing, serta beberapa perusahaan lain di New York Stock Exchange
(NYSE). Sebelum skandal terkuak, saham perusahaan-perusahaan itu sangat
diminati dan harganya cenderung terus meningkat.
Namun
setelah terbukti akuntan publik Arthur Andersen yang memeriksa laporan
keuangannya "membiarkan" praktik mark
up yang dilakukan pihak
perusahaan, harga saham emiten itu langsung jatuh.
Bahkan disebutkan harga sahamnya lebih murah daripada biaya
yang harus dikeluarkan untuk mencetak satu lembar saham. Peristiwa itu sangat
sensasional dan mengguncangkan bursa saham seluruh dunia. Indeks di berbagai
bursa dunia langsung anjlok dan di beberapa negara mencapai rekor terendah.
Belajar dari pengalaman itu, seharusnya otoritas pasar
modal segera tanggap dan mencari skema penyelesaian terbaik untuk mengatasi.
Analogi semacam itu bisa digunakan untuk menyikapi skandal di Bank Lippo.
Kasus laporan keuangan ganda yang dilakukan emiten itu jika
tidak diatasi secara baik akan berpotensi menurunkan kepercayaan publik,
khususnya yang berkecimpung di bursa. Investor yang telanjur membeli saham Bank
Lippo tentu sangat kecewa dan merasa dicurangi.
Ironisnya, sejauh ini belum ada pernyataan dan tindakan
tegas dari Bapepam atau BEJ. Otoritas bursa seolah-olah menganggap sepi masalah
itu. Bahkan beberapa waktu lalu salah satu direksi BEJ menyatakan tidak
ditemukan pelanggaran dalam transaksi Bank Lippo di BEJ.
Penjelasan itu tentu sulit diterima akal sehat karena
sangat tidak logis manajemen secara sengaja melakukan transaksi untuk
menurunkan harga sahamnya. Logika awam menyatakan itu mustahil terjadi. Karena,
biasanya pemegang saham selalu berusaha meningkatkan nilai dan harga sahamnya
di pasar.
Kelembekan sikap otoritas bursa juga menimbulkan kecurigaan
bahwa mereka tidak berani bertindak tegas karena ada beberapa "orang
kuat" yang menjadi komisaris di perusahaan tersebut. Jika dugaan itu benar
akan menambah daftar panjang kelemahan penegakan hukum di pasar modal.
Investor tentu belum lupa pada kasus besar di BEJ. Salah
satunya yang terjadi pada emiten yang masih satu grup dengan Bank Lippo, yaitu
PT Lippo Life Tbk. Kasus itu terjadi pada awal tahun 2000 ketika emiten menyatakan
mengubah bisnis inti dari asuransi menjadi dot
com company.
Investor segera memburu saham itu yang mengakibatkan
harganya naik gila-gilaan (panic buying). Sebagian besar investor sudah
mengoleksi saham itu dan berharap menuai keuntungan. Namun manajemen melalui
perusahaan sekuritas dan broker terafiliasi justru melakukan aksi jual
besar-besaran. Akibatnya bisa diduga. Investor mereka rugi sangat besar dan
sebaliknya manajemen mendapat keuntungan luar biasa dengan memanfaatkan
informasi orang dalam.
Kasus
itu hanya ditangani ala kadarnya oleh otoritas bursa dengan mengenakan denda ke
pihak emiten, tanpa mengajukan ke pengadilan. Padahal, pelanggaran yang terjadi
sangat telanjang. Memang selama ini ada kesan perlindungan terhadap investor
masih sangat kurang karena Bapepam dan BEJ tampak cenderung berpihak ke
kepentingan emiten.
Sikap semacam itu menjadi sesuatu yang kontraproduktif
dalam pemulihan kepercayaan di dunia pasar modal. Dalam skala tertentu juga
mengancam kepercayaan terhadap dunia perbankan dan dunia usaha secara
keseluruhan.
Haruskah pemerintah dan pihak yang berkompeten berdiam diri
membiarkan degradasi kepercayaan terjadi? Time
will tell, waktulah yang akan menjawab!
Analisis :
Timbulnya kasus ini
mengakibatkan terungkapnya kenyataan bahwa mekanisme good corporate governance
yang baik belum diterapkan. Hal ini dapat menjadi pemicu perusahaan atau pihak
manajemen untuk mengeluarkan informasi-informasi yang memberi dampak positif
terhadap harga saham dan dapat mendorong perusahaan untuk cenderung melakukan
manipulasi akuntansi dengan menyajikan informasi tertentu guna menghindari
terpuruknya harga saham.
Selain dari pihak
perusahaan, external auditor juga harus turut bertanggung jawab terhadap
merebaknya kasus-kasus manipulasi akuntansi seperti ini. Posisi akuntan publik
sebagai pihak independen yang memberikan opini kewajaran terhadap laporan
keuangan serta profesi auditor yang merupakan profesi kepercayaan masyarakat
juga mulai banyak dipertanyakan apalagi setelah didukung oleh bukti semakin
meningkatnya tuntutan hukum terhadap kantor akuntan. Padahal profesi akuntan
mempunyai peranan penting dalam penyediaan informasi keuangan yang handal bagi
pemerintah, investor, kreditor, pemegang saham, karyawan, debitur, juga bagi
masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Dalam melaksanakan
tugasnya, auditor memerlukan kepercayaan terhadap kualitas jasa yang diberikan
pada pengguna. Penting bagi pemakai laporan keuangan untuk memandang Kantor
Akuntan Publik (KAP) sebagai pihak yang independen dan kompeten, karena akan
mempengaruhi berharga atau tidaknya jasa yang telah diberikan oleh KAP kepada
pemakai. Jika pemakai merasa KAP memberikan jasa yang berguna dan berharga,
maka nilai audit atau kualitas audit juga meningkat, sehingga KAP dituntut
untuk bertindak dengan profesionalisme tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar